Home / Tak Berkategori / Gimana Gak Ngerasa Kurang: Yang Diukur Rezeki Orang

Gimana Gak Ngerasa Kurang: Yang Diukur Rezeki Orang

Kadang kita lupa, dunia ini selalu berputar di antara rasa cukup dan rasa kurang. Tapi anehnya, semakin maju peradaban, semakin canggih teknologi, semakin banyak juga manusia yang merasa kurang. Mungkin karena kita sibuk mengukur hidup sendiri dengan ukuran orang lain  dan parahnya, kadang ukuran itu bahkan palsu, dibentuk dari potongan citra yang sudah dipoles di layar.

Aku teringat pada kisah seorang pelaut tua dari Andalusia, bernama Ibrahim al-Farisi, yang hidup pada abad ke-15. Ia menghabiskan separuh hidupnya berlayar mencari “tanah keberkahan”  tempat yang diyakini sebagai sumber rezeki tanpa batas. Bertahun-tahun ia menyeberangi samudra, menantang badai, dan kehilangan banyak kawan. Tapi yang ia temukan justru bukan tanah emas, melainkan desa kecil di tepi sungai, di mana penduduknya hidup damai, berbagi hasil bumi, dan tidak pernah berebut.

Ketika ia bertanya kepada kepala desa, “Bagaimana kalian bisa hidup tenang tanpa berlomba menjadi kaya?”, sang kepala desa tersenyum dan menjawab,

“Karena kami tidak mengukur keberkahan dari seberapa banyak yang kami miliki, tapi dari seberapa cukup kami merasa.”

Ibrahim pulang tanpa harta, tapi dengan hati yang penuh. Ia akhirnya menulis dalam catatan terakhirnya:

“Orang yang paling kaya adalah yang tidak kehilangan rasa cukup.”

Lima abad berlalu. Kini dunia kita jauh berbeda  tapi mungkin justru lebih miskin dalam hal yang sama. Di zaman algoritma, kita berlayar di samudra digital: bukan dengan kapal dan layar, tapi dengan jempol dan layar ponsel. Setiap guliran membawa kita pada “tanah orang lain” rumah yang lebih besar, tubuh yang lebih indah, liburan yang lebih mahal, pasangan yang lebih romantis. Dan tanpa sadar, kita kembali seperti Ibrahim sebelum menemukan desa itu: terus mencari, tapi tak pernah merasa cukup.

Padahal, barangkali “desa tenang” itu sebenarnya bisa kita bangun di dalam diri. Sebuah ruang batin yang tak perlu koneksi internet, tak butuh pembanding, hanya perlu kesadaran bahwa rezeki bukan cuma soal uang dan barang, tapi juga soal napas yang masih mengalir, doa yang masih bisa kita panjatkan, dan hati yang masih bisa bersyukur.

Kalau kita mau jujur, setiap zaman punya bentuk keserakahannya sendiri. Dulu manusia berperang demi tanah dan rempah, sekarang kita berperang demi validasi dan gengsi. Dulu orang berlayar menaklukkan dunia, kini kita berselancar di dunia maya menaklukkan persepsi. Tapi inti persoalannya tetap sama: kita kehilangan ukuran yang benar.

Jadi, gimana gak ngerasa kurang, kalau yang diukur itu rezeki orang?
Mungkin pelajaran dari Ibrahim al-Farisi bisa kita ambil hari ini: berhentilah berlayar ke luar hanya untuk membandingkan, karena tanah keberkahan itu bukan di ujung dunia, tapi di hati yang tahu kapan harus berhenti mencari dan mulai mensyukuri.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA ImageChange Image