Di negeri para intelektual tanpa kompas, terang bukan tanda jalan melainkan peluru yang akan ditembakkan kepadamu. Mereka tidak mencari arah, mereka mencari kenyamanan dalam konvoi yang saling meneguhkan kesalahan. Karena di laut kebodohan kolektif, gelar hanyalah layar kapal: megah dari jauh, rapuh saat badai datang. Dan integritas? Itu barang mewah, seperti rempah langka yang dulu pernah ada di pasar, tapi kini hanya tersisa di cerita tua para pelaut. Mereka yang masih membawanya dianggap aneh, bahkan berbahaya sebab integritas, seperti cahaya, akan memaksa mereka melihat peta yang selama ini sengaja mereka balikkan. Dan di tengah kegelapan yang menguntungkan, siapa yang mau membalik peta dan kehilangan semua arah palsu yang sudah membuat mereka merasa berkuasa?
Ada satu hukum alam yang jarang diajarkan di kelas fisika, apalagi di forum akademik: kebodohan kolektif itu seperti panas tidak bisa dihancurkan, hanya bisa dialihkan. Ia mengalir dari satu titik ke titik lain, kadang dalam wujud percakapan berisik, kadang dalam bentuk keputusan yang dibuat tanpa membaca peta.
Di samudra luas, badai kadang bukan datang dari langit. Ia muncul dari suara-suara nyaring yang meyakinkan semua orang bahwa mereka tahu arah, padahal jarum kompas mereka berputar liar. Laut tetap biru, angin tetap lembut, tapi gelombang yang ditimbulkan oleh keyakinan yang salah bisa lebih ganas daripada topan terbesar.
Bayangkan sebuah kapal besar seperti Thousand Sunny, berlayar di lautan yang awalnya damai. Tiba-tiba, ombak aneh mulai menghantam lambung kapal, bukan karena badai petir, melainkan karena armada lain di kejauhan sedang mendayung ke arah yang salah bersama-sama, kompak, dan penuh percaya diri. Mereka mengangkat layar tinggi-tinggi, berteriak menemukan “jalur emas”, padahal peta mereka terbalik. Dan ironisnya, mereka saling memberi tepukan di bahu seolah keberhasilan tinggal menunggu waktu.
Di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu kapal yang berbeda. Kapalnya mungkin tak sebesar kapal-kapal lain, namun kemudinya baru saja dipegang oleh seorang nakhoda muda. Ia berdiri tenang di dek, matanya menelusuri arus yang tercipta dari gerakan salah kapal-kapal lain. Ia tidak memanggil mereka, tidak mengangkat bendera peringatan, apalagi berdebat soal arah. Ia tahu, mengubah seluruh armada yang mabuk keyakinan sama saja seperti mencoba menghentikan gelombang dengan tangan kosong.
Sebagai gantinya, ia mempelajari arus. Ia menghitung jarak antara pusaran ombak, mendengarkan nada angin, dan memperhatikan bagaimana riak kecil bisa menjadi dorongan besar bila diarahkan dengan benar. Ia sadar, kebodohan kolektif itu seperti bahan bakar gratis, jika kau tahu cara memprosesnya, ia bisa mendorong kapalmua lebih cepat daripada layar yang terisi penuh angin.
Hari-hari berlalu. Dari kejauhan, ia terlihat seperti sekadar ikut arus, tersenyum ramah, bahkan kadang melambaikan tangan seolah menyapa. Para nakhoda lain mengira ia hanyalah penumpang nasib yang tak punya tujuan. Padahal, di ruang kemudi, ia sudah memutar tuas kemudi sedikit demi sedikit, memastikan bahwa setiap dorongan arus salah justru membawanya semakin dekat ke pelabuhan yang ia tuju.
Ia tak pernah mencoba menjadi pahlawan di mata armada lain. Ia hanya memastikan kapalnya selamat dan sampai lebih dulu. Baginya, kemenangan tidak diukur dari siapa yang bersuara paling lantang di tengah laut, melainkan dari siapa yang tiba di dermaga tanpa terombang-ambing ke tengah badai.
Karena di lautan ini, yang bertahan bukanlah yang paling kuat atau paling keras teriakannya, melainkan yang tahu cara mengendarai kapal di tengah badai kebodohan kolektif mengubah gelombang yang menyesatkan menjadi angin yang mendorongmu menuju tujuan.
Dan seperti semua rahasia di lautan, hanya sedikit yang benar-benar paham bahwa kadang, untuk selamat, kau tidak perlu melawan arus tapi cukup menungganginya, sampai badai itu sendiri yang mengantarmu ke pantai.