Home / Pendidikan / Ketika Luqman Menasihati Anak Zaman Now: Sebuah Refleksi tentang Pendidikan Karakter dalam Era Digital

Ketika Luqman Menasihati Anak Zaman Now: Sebuah Refleksi tentang Pendidikan Karakter dalam Era Digital

Ketika Luqman Menasihati Anak Zaman Now: Sebuah Refleksi tentang Pendidikan Karakter dalam Era Digital

“Wahai anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya…”
(QS Luqman: 16)

Dalam sejarah peradaban Islam, Luqman dikenal bukan sebagai nabi, melainkan sebagai figur kebijaksanaan yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an. Ia bukan raja, bukan pemimpin militer, dan bukan pula pemuka agama dengan ribuan pengikut. Namun ia adalah ayah dan dari perannya itulah lahir nasihat-nasihat yang melampaui zaman.

Jika Luqman hidup hari ini, barangkali ia tidak lagi berdiri di depan rumah bata dengan atap jerami. Mungkin ia akan duduk di sebuah ruang tamu modern, ditemani anak yang sibuk menatap layar gawai, bermain gim sambil sesekali tertawa atas video viral. Dan mungkin pula, alih-alih memulai nasihat dengan, “Wahai anakku,” Luqman akan berkata: “Nak, sebelum kau jadi konten kreator, jadilah manusia dulu.”

Sarkasme dan Kebijaksanaan: Antitesis Zaman

Tentu, pernyataan di atas terdengar sarkastik. Namun bukan sarkasme kosong yang bertujuan menjatuhkan, melainkan sebuah peringatan implisit atas pergeseran nilai dalam pendidikan anak hari ini. Dunia digital telah memberikan ruang bagi anak-anak untuk belajar secara terbuka, namun sekaligus juga menghadirkan disorientasi nilai yang mengkhawatirkan.

Ironisnya, dalam zaman di mana teknologi menjanjikan keterhubungan global, banyak anak justru kehilangan hubungan dengan nilai-nilai dasar: sopan santun, kesederhanaan, tanggung jawab, dan kejujuran. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali narasi-narasi bijak seperti milik Luqman ke dalam wacana pendidikan kontemporer.

Salah satu fragmen dalam surah Luqman yang paling sering dikutip adalah soal tauhid, akhlak kepada orang tua, keadilan, dan kerendahan hati. Sayangnya, nilai-nilai ini kini dianggap “terlalu filosofis”, dan kalah pamor dibandingkan jargon-jargon instan: “jadi diri sendiri”, “love yourself”, atau “jadilah versi terbaik dirimu” yang seringkali lebih menekankan pada ekspresi diri ketimbang pembentukan diri.

Pendidikan Karakter yang Dilemahkan oleh Like dan FYP

Kita hidup dalam zaman ketika validasi datang bukan dari guru, orang tua, atau pengalaman nyata—melainkan dari angka likes, comment, dan tayangan ulang. Anak-anak diajarkan bahwa yang penting bukan bagaimana ia berlaku jujur, tetapi bagaimana ia terlihat jujur. Bukan seberapa sabar ia menghadapi cobaan, melainkan seberapa baik ia membranding cobaan itu sebagai “kisah inspiratif”.

Bayangkan jika Luqman melihat semua ini. Mungkin ia akan berkata:

“Nak, dahulu aku khawatir jika kau menyekutukan Tuhan. Tapi hari ini, aku lebih khawatir kalau kau menyekutukan kebenaran demi algoritma.”

Ungkapan ini bukan sekadar satire, melainkan cermin. Kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang lebih fasih bicara tentang “branding” ketimbang “kepribadian”. Mereka tahu bagaimana menampilkan simpati, tapi belum tentu mengerti empati. Mereka pintar mengelola citra, tapi bingung saat berhadapan dengan integritas.

Kembalinya Luqman: Menghadirkan Kearifan Lama untuk Generasi Baru

Membayangkan Luqman hadir kembali bukanlah sekadar eksperimen literer. Ia adalah bentuk rekontekstualisasi nilai. Dalam dunia pendidikan, ini disebut sebagai pendekatan historical wisdom adaptation, yakni menghadirkan nilai-nilai lama dalam konteks modern agar tetap relevan dan aplikatif.

Misalnya, nasihat Luqman tentang kesombongan:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh…”
— (QS Luqman: 18)

Hari ini, bentuk kesombongan bukan lagi kepala mendongak atau langkah besar. Tapi bisa jadi: caption yang merendahkan, komentar yang sinis, atau konten yang menertawakan penderitaan orang lain demi “edukasi”.

Jika nasihat ini diterjemahkan dalam bahasa zaman sekarang, Luqman mungkin akan berkata:

“Nak, bukan tinggi followers yang membuatmu besar. Tapi hatimu yang lapang ketika tak ada satu pun yang menyapa.”

Mendidik Anak dengan Dua Telinga dan Hati yang Terbuka

Dalam pendidikan karakter, esensi dari metode Luqman adalah pendekatan dialogis dan personal. Ia tidak memaksa, tidak menghakimi, dan tidak mempermalukan. Ia berbicara langsung kepada anaknya, dengan lembut dan reflektif.

Betapa jauh bedanya dengan gaya komunikasi zaman kini yang cenderung reaktif, penuh seruan moral tanpa empati, dan kadang lebih suka menghukum ketimbang membimbing. Bahkan tak jarang, anak-anak lebih takut pada hukuman ketimbang malu atas kesalahan.

Padahal, seperti dikatakan dalam filsafat pendidikan Islam, pendidikan adalah tazkiyah (penyucian), bukan sekadar ta’dib (pengajaran). Ia bertujuan membentuk batin yang jernih, bukan hanya perilaku yang patuh.

Antara Tradisi dan Tantangan Baru

Tentu, tantangan mendidik anak di era digital tidak bisa disederhanakan. Kita tidak mungkin melarang internet, media sosial, atau YouTube. Tapi kita bisa membangun kesadaran kritis pada anak-anak bahwa tak semua yang viral itu bernilai.

Kita bisa kembali meminjam suara Luqman: “Nak, hidup ini bukan lomba paling cepat kaya, paling cepat terkenal, atau paling cepat move on. Tapi tentang siapa yang paling sabar saat tak ada yang menonton.”

Sarkasme seperti ini bukan untuk menertawakan anak-anak, tapi untuk menyentuh bagian dari mereka yang mungkin sudah letih berpura-pura menjadi “versi terbaik” yang dituntut zaman.

Penutup: Mewariskan Suara Hikmah dalam Dunia yang Bising

Artikel ini bukan sekadar upaya menghidupkan kembali tokoh Luqman dalam dunia modern. Ia adalah undangan kepada para pendidik, orang tua, dan pemimpin masyarakat untuk menghadirkan kembali kearifan klasik dalam format yang bisa dicerna anak zaman kini. Sebab kadang, anak-anak tak perlu diberi lebih banyak perintah, melainkan lebih banyak perenungan.

Dan jika suatu hari anak-anak kita membaca ulang kisah Luqman, semoga mereka tidak hanya membaca ayat tetapi juga mendengar suaranya:

“Nak, jangan kejar cahaya dari layar kalau itu membuatmu kehilangan cahaya dari hati.”

 

MODUL PENDIDIKAN KARAKTER

Judul Modul:
“Luqman Zaman Now: Membangun Karakter Anak di Era Digital”

  1. DESKRIPSI MODUL

Modul ini dirancang untuk membentuk kesadaran karakter anak-anak dan remaja melalui pendekatan kisah Luqman al-Hakim yang kontekstual dengan dunia digital masa kini. Modul menggabungkan pembelajaran nilai (value education), literasi digital, serta refleksi personal dengan metode interaktif dan diskusi kelompok.

  1. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti modul ini, peserta diharapkan mampu:

  • Memahami nilai-nilai utama dari kisah Luqman al-Hakim (tauhid, sopan santun, kesabaran, dan kerendahan hati).
  • Mengkritisi pengaruh negatif dunia digital terhadap pembentukan karakter.
  • Menumbuhkan sikap kritis, tanggung jawab, dan integritas dalam kehidupan digital.
  • Mampu membuat keputusan moral dengan mempertimbangkan nilai-nilai keislaman dan kebijaksanaan.
  1. SASARAN PESERTA
  • Anak usia 10–18 tahun (bisa disesuaikan tingkatnya)
  • Pelajar SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA
  • Orang tua, guru, dan fasilitator pendidikan karakter
  1. WAKTU PELAKSANAAN

Durasi: 2×40 menit (bisa dijadikan sesi mingguan)
Jumlah pertemuan: 3–5 sesi (dapat dikembangkan jadi satu paket pelatihan)

  1. STRUKTUR MODUL

Sesi 1: Suara Bijak dari Masa Lalu

  • Materi Utama: Kisah Luqman al-Hakim (QS Luqman: 12–19)
  • Aktivitas:
    • Membaca ayat bersama (dengan terjemah)
    • Diskusi nilai-nilai utama: tauhid, sopan santun, keadilan, kesederhanaan
  • Refleksi:
    • Apakah nilai-nilai ini masih kita temukan hari ini?
    • Bagaimana saya sebagai anak muda bisa menjalankannya?

Sesi 2: Antara Like dan Hikmah

  • Materi Utama: Fenomena “validasi digital” dan krisis karakter
  • Sarkas Edukatif: Kutipan naratif “Nak, jangan menyembah algoritma”
  • Aktivitas:
    • Nonton video pendek (tentang media sosial & anak muda)
    • Diskusi kelompok: Mana yang lebih penting, terlihat baik atau menjadi baik?
  • Proyek Mini:
    • Buat poster “Nasihat Luqman untuk Anak Zaman Now”

Sesi 3: Digital Tapi Manusiawi

  • Materi Utama: Literasi digital dan adab dalam dunia maya
  • Aktivitas:
    • Simulasi etika: balas komentar negatif / unggah konten sedih
    • Studi kasus: Mengapa banyak anak jadi agresif atau depresi karena media sosial?
  • Refleksi Individu:
    • Tulis jurnal: “Hal baik yang bisa saya lakukan tanpa harus mempostingnya.”

Sesi 4: Kata-Kata Bijakmu Adalah Dirimu

  • Materi Utama: Nilai komunikasi sopan dan tanggung jawab dalam berbicara (online & offline)
  • Aktivitas:
    • Latihan debat santun (pro-kontra tentang konten viral)
    • Membuat “Nasihat Versi Saya” (meniru gaya Luqman, ditujukan untuk teman seusia)

Sesi 5: Evaluasi dan Komitmen Karakter

  • Aktivitas Akhir:
    • Menulis surat untuk diri sendiri 5 tahun ke depan
    • Sumpah karakter: “Saya berjanji menjadi pribadi yang lebih sadar dan bertanggung jawab, baik saat terlihat maupun tidak.”
  • Penilaian:
    • Kuis ringan tentang nilai-nilai Luqman
    • Penilaian sikap dan keterlibatan selama sesi
  1. NILAI-NILAI UTAMA DALAM MODUL
Nilai Deskripsi Singkat
Tauhid Meletakkan Allah sebagai pusat pertimbangan dalam segala tindakan.
Amanah Digital Bertanggung jawab atas apa yang diunggah, dikomentari, dan disebarluaskan.
Sopan Santun Menjaga tutur kata dan perilaku, bahkan di dunia maya.
Kejujuran Tidak membuat citra palsu untuk sekadar terlihat “baik”.
Kerendahan Hati Tidak sombong atas prestasi, apalagi likes dan views.
Refleksi Diri Berani menilai dan mengoreksi diri secara berkala.

 

  1. METODE PENGAJARAN
  • Reflektif-Naratif (menggunakan kisah & analogi)
  • Diskusi Kelompok & Studi Kasus
  • Simulasi dan Roleplay
  • Karya Visual & Proyek Mini
  • Jurnal Pribadi & Komitmen Karakter
  1. EVALUASI & MONITORING
Aspek Indikator Bentuk Evaluasi
Kognitif Memahami isi kisah Luqman dan nilai-nilainya Kuis singkat, pertanyaan lisan
Afektif Menunjukkan sikap reflektif & terbuka Observasi diskusi, jurnal refleksi
Psikomotorik Mampu mempraktikkan nilai dalam aktivitas digital Proyek mini, simulasi, etika digital
  1. PENUTUP

Modul ini mengajak peserta, khususnya anak-anak dan remaja, untuk memahami bahwa hidup tidak semata tentang terlihat hebat, tetapi tentang menjadi pribadi yang bermakna. Dengan menghadirkan Luqman ke dalam konteks kekinian, anak-anak diajak untuk merenungi kembali: Apa arti menjadi manusia yang baik di tengah dunia yang terlalu sibuk tampil?

Sebagai pengajar, saya tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi juga menjadi saksi perubahan zaman yang begitu cepat dalam cara mahasiswa berpikir, berinteraksi, dan membentuk identitasnya. Di satu sisi, saya menemukan semangat belajar yang luar biasa, tetapi di sisi lain, ada kegelisahan yang lahir dari tekanan untuk selalu “terlihat cukup” cukup pintar, cukup aktif, cukup layak untuk dilihat. Dalam ruang-ruang diskusi, saya mendengar banyak suara muda yang haus makna, tetapi kebingungan dalam membedakan mana yang nilai dan mana yang sekadar citra.

Pengalaman itu membawa saya pada perenungan yang lebih dalam: mungkinkah selama ini pendidikan tinggi terlalu fokus pada kompetensi, tetapi kurang menyentuh karakter? Bukankah di balik gelar dan IPK, masih ada dimensi yang lebih hakiki yakni integritas, kerendahan hati, dan tanggung jawab personal? Saya tidak sedang menyalahkan siapa pun. Saya hanya merasa bahwa di tengah derasnya arus digital, peran pendidik termasuk saya sendiri bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga menghadirkan ruang-ruang tenang untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebenarnya.

Maka dari itu, ketika menyusun modul ini, saya tidak melakukannya sebagai seorang akademisi yang sedang “mengajar”, melainkan sebagai manusia dewasa yang ingin berbicara kepada generasi setelah saya dengan cara yang lebih jujur dan membumi. Saya percaya bahwa suara-suara seperti Luqman tidak pernah mati; hanya saja kadang kita terlalu sibuk mendengarkan bising dunia hingga tak lagi sempat mendengarnya. Modul ini adalah upaya kecil untuk memanggil kembali suara itu dengan harapan, semoga anak-anak dan mahasiswa kita tidak hanya menjadi “pintar dalam bicara”, tetapi juga “bijak dalam diam”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA ImageChange Image