“Kalau udah dapat bahagia, kenapa kamu tambahin dengan bahagia yang lain?” Kalimat ini terdengar sederhana, tapi menghantam telak siapa pun yang hidup di tengah pusaran ambisi zaman ini. Dalam salah satu episode podcast yang menyentuh banyak orang, komika Bintang Emon dan kreator konten Bigmosky ngobrol soal kebahagiaan, ekspektasi sosial, dan obsesi generasi hari ini untuk terus mengejar lebih.
Dalam podcast itu, Bigmosky menyampaikan keresahan yang mewakili banyak orang: kita tumbuh di lingkungan yang mengukur kebahagiaan dari luar dari jabatan, saldo rekening, pencapaian viral, atau pasangan hidup yang ideal. Padahal, sering kali semua itu tidak ada hubungannya dengan rasa cukup. Sementara Bintang Emon, dengan gaya khasnya, menyelipkan satu pertanyaan reflektif yang kuat:“Kapan terakhir kali lo ngerasa cukup?”
Pertanyaan ini sejatinya adalah pintu masuk menuju makna Qonaah konsep Islam yang berbicara tentang kepuasan hati, ketenangan batin, dan rasa cukup terhadap rezeki yang telah Allah berikan. Qonaah bukan menyerah, bukan pasrah, tapi kesadaran spiritual bahwa kebahagiaan bukan soal mengumpulkan, tapi menyadari.
Hidup dalam Ekspektasi yang Tak Kunjung Usai
Kita hidup dalam zaman yang membuat “cukup” terasa seperti kegagalan. Jika kita belum beli rumah sendiri di usia 25, belum menikah di usia 30, atau belum viral di Instagram, kita dianggap ketinggalan. Padahal, siapa yang membuat standar itu? Siapa yang bilang kebahagiaan itu harus punya semuanya?
Podcast itu menggambarkan secara jujur bagaimana orang-orang hari ini kehilangan rasa syukur karena terjebak dalam dopamin kebahagiaan instan. Dapat satu hal, ingin dua. Dapat dua, ingin sepuluh. Dapat cinta, ingin cinta yang lebih. Sudah punya damai, malah cari tantangan yang memicu drama. Sudah bahagia, malah merasa belum lengkap kalau belum dipamerkan di story.
Qonaah: Jalan Tengah Antara Ambisi dan Syukur
Qonaah bukan berarti menolak mimpi. Tapi ia membingkai mimpi dalam batas yang sehat. Kita boleh bekerja lebih keras, boleh mengejar lebih banyak, tapi jangan kehilangan kepekaan terhadap apa yang sudah kita punya. Karena saat kita lupa bersyukur, kita jadi serakah. Dan keserakahan adalah musuh abadi kebahagiaan.
Dalam podcast itu, Bintang Emon menyindir banyak anak muda (termasuk dirinya sendiri) yang sering terjebak dalam ekspektasi palsu: harus sukses cepat, harus punya rumah, harus punya pasangan ideal, harus… dan harus yang lain. Tapi ketika semua itu sudah diraih, sering kali ada kehampaan yang tak bisa diisi oleh pencapaian. Lalu Bigmosky menyahut, “Ternyata bahagia itu bukan soal nambah, tapi soal sadar.”
Era Media Sosial dan Kehausan yang Tak Pernah Padam
Instagram, TikTok, Twitter semua platform itu membuat kita jadi terlalu sadar dengan hidup orang lain. Kita jadi merasa kurang hanya karena orang lain tampak lebih. Inilah krisis qonaah di era digital: kita mengukur hidup dari postingan orang, bukan dari ketenangan hati sendiri.
Padahal, tidak semua orang yang kelihatan bahagia benar-benar bahagia. Tidak semua pasangan yang terlihat mesra di reels benar-benar harmonis. Tidak semua orang kaya di depan kamera benar-benar damai di dalam rumah.
Qonaah mengajarkan kita untuk berhenti membandingkan, dan mulai mengapresiasi. Bahwa tidur nyenyak adalah nikmat. Bahwa makan bareng keluarga adalah rezeki. Bahwa punya satu teman tulus adalah harta.
“Kalau Sudah Bahagia, Kenapa Ditambah Lagi?”
Kalimat ini sebenarnya bukan larangan untuk bermimpi lebih besar, tapi pengingat: jangan sampai pencarian yang tak henti-henti malah membuat kita kehilangan momen yang sudah cukup membuat bahagia. Jangan sampai kita mengejar “bahagia tambahan” dan melupakan “bahagia utama”.
Ada orang yang sudah punya pekerjaan baik, pasangan setia, dan keluarga harmonis tapi karena ingin seperti yang lain, dia tinggalkan semua itu demi pencapaian lain yang lebih gemerlap, hanya untuk menyadari bahwa yang ia kejar tidak membuat hatinya tenang.
Ada orang yang sudah tenang dengan pasangannya, tapi tergoda untuk cari validasi baru hanya karena melihat tren di media sosial. Akhirnya yang ada bukan tambah bahagia, tapi tambah luka.
Menutup dengan Renungan
Qonaah adalah bentuk pemberontakan spiritual terhadap budaya serba ingin. Ia membisiki kita bahwa:
“Bahagia itu tidak selalu datang dari menambah, tapi kadang justru dari menerima dan menyadari apa yang sudah ada.”
Jadi mari kita tanya diri sendiri:
“Apakah aku benar-benar kurang, atau hanya terlalu sering membandingkan?”
“Apakah aku betul-betul butuh lebih, atau hanya belum belajar bersyukur?”
Dan terakhir, sebagaimana obrolan hangat antara Bintang Emon dan Bigmosky: Kalau udah dapat bahagia, kenapa kamu tambahin dengan bahagia yang lain? Mungkin, yang kita butuhkan bukan lebih banyak, tapi lebih sadar.